Barokah Zaman

Judul di atas merupakan sebuah frasa menarik yang saya baca dari tulisan Mba Rini di blog beliau.

Pas sekali! Kehidupan saya pekan ini banyak diwarnai tema “barokah zaman”.

Internet itu terkadang melalaikan

Kalau sudah terlihat betah di depan komputer dan menjelajahi berbagai situs dan blog, Abu Asiyah suka menyindir saya, “Internet itu terkadang melalaikan.”

Namanya juga manusia yang suka mencari pembenaran [1], biasanya saya akan menyanggah dengan beralasan bahwa internetan itu ‘kan juga dalam rangka belajar dan menambah ilmu. Akan tetapi, setelah merenung kembali, ucapan beliau itu ada benarnya juga.

Ini dia yang kucari!

Rasanya ada sesuatu yang mesti saya temukan. Meski begitu, saya sendiri tidak tahu apa gerangan “sesuatu” itu.

Sampai akhirnya, ketika membetulkan letak buku-buku di ruang tamu, saya temukan fotokopi-kitab bersampul hijau yang berjudul Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram. Saking sudah lamanya tidak mengamati isinya lekat-lekat, saya sampai lupa bahwa fotokopian itu berisikan matan kitab Al-Ilmam fi Ushulil Ahkam, sebuah muqaddimah yang sengaja ditulis oleh Syekh Al-Bassam sebagai tambahan pengetahuan bagi pembaca kitab Taudhihul Ahkam, karya beliau.

Saya lihat-lihat ulang catatan-catatan kecil saya di fotokopian tersebut. Ah, jadi ingat … beberapa tahun lalu, kitab Al-Ilmam belum tuntas dibahas oleh Ustadz Aris Munandar karena ta’lim Al-Ilmam diadakan sekadar untuk mengisi sisa jatah waktu ta’lim; pembahasan kitab Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul telah selesai namun masih ada sisa beberapa hari jadwal ta’lim ushul fiqh sehingga Ustadz Aris memutuskan untuk mengisi keluangan waktu yang ada untuk membahas Al-Ilmam.

Qadarullah (ini adalah ketetapan Allah), pembahasan tentang maqashidusy syar’iyyah belum sempat dibahas, padahal ini salah satu bagian yang sangat saya nantikan.

Setelah membuka Al-Ilmam dan melihat coretan-coretan kecil saya di fotokopian tersebut, rasanya saya temukan “sesuatu” itu; ternyata saya kangen menelaah isi buku.

You can come on Monday, Wednesday, and Friday

Sabtu malam kemarin, saya sedang ada keperluan di UTP sehingga mesti shalat Isya di sana. Tidak disangka, saya berjumpa dengan Ustadzah Maryam [2]. Selepas shalat Isya, beliau ngobrol sebentar dengan saya.

“After 17th of Ramadan, I decided to stop the class (for non-Arabian) because no one come …. But if you want, you can come to the Arabian class on Monday, Wednesday, and Friday. Just come and you can hear the Arabian speak [3] …. On Friday, we learn tafsir and hifdh. If you want to continue your hifdh, you can come. Now, we’ve already learned tafsir suratun Nisa’. Have you finish (memorizing) suratun Nisa’?”

*Glek …* Berasa keselek saya ditanyain kayak begitu, ‘Kamu sudah hafal surat An-Nisa?

Ternyata pertanyaan beliau masih ada lanjutannya, “Have you finish suratul Baqarah?”

*Glek … glek …*

Saya pun balik bertanya, “What kind of tafsir you use on the ta’lim?”

Ustadzah Maryam menjawab, “Mukhtasar Tafsir Ibni Kathir.”

Beliau memberi tambahan, “There’s a new person. She’s a Sudanese. She said that she wants memorizing twenty juz in 3 months (bagian ini saya kurang jelas dengarnya). Masha’ Allah.”

20 juz = 3 months = what an eager desire!

Percakapan singkat kami berakhir, dan Ustadzah Maryam pamit pergi.

Barokah zaman

Seperti permisalan yang banyak digunakan orang, pisau itu bisa berguna namun bisa jadi berbahaya jika tak digunakan dengan benar. Memang, internet itu sangat membantu dalam menambah ilmu agama kita, namun mungkin juga bisa berakhir menenggelamkan kita dalam kelalaian. Jika waktu berinternet itu diibaratkan sebagai gunung, maka awal waktu kita berinternet memang digunakan untuk membaca faedah keagamaan, membuka situs-situs Ustadz, atau mengunduh kitab-kitab para ulama. Akan tetapi, kalau sampai berlebihan, waktu yang habis akan menggunung mengerucut, hingga ujungnya yang meruncing bisa jatuh menimpa kita. Pondasinya tetap ada, karena dia memang bermanfaat. Yang patah adalah bagian waktu yang dilalui dengan kesia-siaan nongkrong lama-lama di depan internet.

Nongkrong berhadapan dengan internet–tanpa tujuan yang jelas–bisa membuat waktu kita habis, membaca buku jadi terlupakan, menghafal Alquran jadi terabaikan, menelaah kitab jadi terpinggirkan.

Kalau Ibnu Taimiyyah, Imam Ahmad, Al-Bukhari, Imam Nawawi, Ibnul Qayyim, dan ulama zaman dahulu bisa mewariskan berpuluh-puluh kita dengan bermodal pena, tinta, dan kertas, maka anak muda semacam kita ini tampaknya belum cukup ulet meniru kegigihan mereka.

Salah satu kemungkinan penyebabnya, karena adanya barokah zaman ….

Walaupun demikian, mari cerahkan masa kelam kita dengan menggantinya menjadi sebuah masa yang gemilang, dengan kecerdikan baru dalam menata aktivitas berharga menggunakan modal waktu yang sangat berharga. Bukan karena kita ingin masyhur di antara penduduk zaman, namun karena kita tahu bahwa tak ada kata terlambat ‘tuk berubah menjadi lebih baik, selagi nyawa belum sampai di kerongkongan, selagi akhir bumi belum lagi tiba.

Now or never!

*

[1] Pada sebuah ta’lim, ketika menjawab sebuah pertanyaan, Ustadz Aris mengutip sebuah ayat Alquran,

بَلِ الْإِنسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ

Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri.” (Q.s. Al-Qiyamah: 14)

وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ

Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (Q.s. Al-Qiyamah: 15)

Faedah yang bisa kita ambil dari dua ayat di atas: Manusia seringkali mencari pembenaran, bukan kebenaran. Manusia seringkali menyanggah dengan serentetan alasan, padahal dia tahu realita dirinya.

[2] Beliau adalah seorang muslimah Palestina yang berumur lebih dari setengah abad. Di sini, beliau mengadakan ta’lim rutin dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggris. Saya tidak mengetahui secara pasti tingkat keilmuan beliau. Yang saya tahu, beliau pernah belajar di sebuah ma’had di Arab Saudi saat beliau menemani suaminya di sana. Untuk muslimah non-Arab, beliau membuka kelas lughah dan kelas hafalan Alquran. ‘Ala kulli hal, ada beberapa faedah tentang akhlak dan lughah yang saya peroleh dari beliau.

Di antara faedah tentang akhlak, yang sangat saya ingat sampai sekarang, adalah ketika beliau mengajarkan tentang mengamalkan ilmu yang terkandung dalam ayat Alquran yang kita hafalkan. Salah satunya adalah muamalah yang baik dengan masyarakat dan mendoakan orang lain agar mendapat hidayah taufik. Saat itu, beliau bercerita tentang betapa tak menyenangkannya melihat para wanita kafir berpakai “tak sopan”. Ustadzah Maryam menuturkan bahwa beliau berdoa kepada Allah agar Allah memberikan hidayah kepada wanita-wanita tersebut. Masya Allah, perlu ditiru …. Betapa kita sering mencela namun lupa memohon hidayah taufik bagi mereka.

Di antara faedah tentang lughah, saya jadi tahu beberapa istilah yang sering digunakan dalam percakapan, seperti: ‘isy dan syufi. Lumayan untuk membantu pemahaman saat mendengar rekaman penjelasan para ulama dalam bahasa Arab.

[3] Setelah murid-murid non-Arab tidak lagi datang, beliau menutup kelas tersebut dan hanya melanjutkan ta’lim rutin orang-orang Arab (tentunya, ta’lim disampaikan dalam bahasa Arab). Saya pernah ikut ta’lim untuk orang Arab sebanyak satu kali; saya hanya paham beberapa kata yang beliau ucapkan, tetapi lumayan buat melatih telinga (lalu selanjutnya melatih lisan) terbiasa dengan bahasa Arab. Tidak semua orang Arab bisa berbahasa Inggris. Jadi, kalau ketemu dengan yang tidak bisa berbahasa Inggris, palingan saya hanya mengucapkan kalimat standar, “Kaifa haluk?” yang dilengkapi dengan sedikit ungkapan lain yang saya ketahui.

Pengalaman penting: Berbicara dan baca kitab itu sangat berbeda. Terkadang–saking groginya bicara dengan orang Arab langsung–saya sampai salah kaidah saat bicara; harusnya pakai fi’il madhi, malah pakai fi’il mudhari’; harusnya pakai fi’il untuk fa’il muannats, malah pakai yang untuk fa’il mudzakkar.

*

Bandar Universiti, 17 Oktober 2011,
Athirah

2 tanggapan untuk “Barokah Zaman”

  1. yang merindukan "masa lalu" Avatar
    yang merindukan “masa lalu”

    kalo jaman dulu para penuntut ilmu itu dhobit shodr, minimal dhobit kitab. kalo jaman sekarang dhobit copy paste. bagus jg kembali ke jaman dulu…

    masih ingat jaman awal2 mengenal manhaj salaf, jamannya ke warnet masih mahal, uang saku mepet, flash disk ga punya boro2 komputer, rekaman aja pake tape recorder, benar2 harus mengandalkan tajamnya pendengaran dan “bagusnya” catatan. mungkin jaman sekarang jg masih ada “pencatat2” kajian. tapi banyak jg yg termanjakan oleh banyaknya siaran radio, rekaman2 kajian yg banyak di internet, tulisan2 ustadz di berbagai situs. tapi tetap, ikhlas berjalan menuju majlis ilmu, langsung datangi ahlinya, mendengarkannya, mencatatnya (mencatat membuat ilmu makin melekat), dan kalo bisa menghapalnya, kemudian mengajarkannya kembali kepada orang lain menjadikan ilmu dan waktu lebih barokah. insyaAllah… duuh, seandainya kita bisa…

    1. عطرة Avatar
      عطرة

      benerrrrrrrrrrr banget itu mb… kl dulu harus pasang telinga dan konsentrasi penuh kl dengar ustadz mendengarkan.. konsentrasi hilang dikit, bisa2 satu huruf nafyi atau huruf athof hilang, jadinya makna kalimat udah beda.. kl dulu mesti bela2in datang sebelum kajian dan pulang setelah kajian selesai, supaya bs dengar penjelasannya utuh…

      tapi ada juga untungnya ada rekaman kajian, mb.. jadinya kita bs dengar kajian yg g boleh dihadiri akhwat/ummahat.. pas mba2 udah banyak yg nikah, akhwat2 biasanya dapat rekaman2 kajian ikhwan… level bahasannya lebih tinggi, kitabnya juga masih asing buat akhwat.. lumayan buat tambahan faedah baru

      kl kita search pake syamilah aja bisa njelimet milih rujukan mana yg mau diambil.. jadi bisa dibayangkan kecerdasan para ulama bisa tahu suatu masalah itu ada di hadits mana, seorang perawi meriwayatkan hadits yg mana dan bagaimana reputasi yg bersangkutan.. benar2 barokah zaman… : )